Tulisan ini dibuat karena pernyataan seorang sahabat yang menyadarkan saya tentang luka akibat sebuah pernikahan.
Pernikahan saya? Bukan. Ini tentang pernikahan mereka. Tapi lukanya, ada pada diri saya.
Hari itu adalah hari pernikahannya. Pernikahan kakak pertama yang saya cintai. Akad dilakukan di kantor KUA dan resepsi di rumah mempelai pria. Saya seharian duduk di depan pelaminan mereka. Memandang setiap orang yang datang dan mengucapkan kata-kata bahagia. Saat itu saya masih duduk di kelas 1 SD. Yang saya tunggu-tunggu dalam duduk sehari ini adalah pulang kembali ke rumah bersama kakak saya dan keluarga. Saya sudah cukup bersabar membiarkan semua orang tertawa dan makan bersama. Tapi saat malamnya tiba, saya dan semua keluarga saya harus kembali ke rumah. Harga mati!
Malam tiba, orang yang datang semakin sedikit, dan saya mulai mengantuk tak tertahankan. Tapi saya masih memegang janji untuk memastikan semua keluarga pulang ke rumah. Ibu sudah mengajak saya pulang, disusul dengan anggota keluarga lain yang juga sudah siap pulang. Saya segera berkata "Kakak pulang juga kan, mana dia?".
"Kakak mah enggak pulang sayang, sekarang dia di sini sama suaminya."
"Apaansiiih!! Suruh dia ikut pulang buuu."
"Udah, udah, ayok pulang yuk.."
"Kakak pulang buuuu... ajakiiiin" dengan nada setengah menangis. Tapi tidak ada seorang pun yang mengajak kakak saya pulang ke rumah. Tangisan saya pun pecah dan rasa kesal di dalam hati memuncak.
Kenapa kakak saya lebih memilih bersama orang lain dibanding dengan keluarga terutama adiknya sendiri? Dan rumah ini pun berkurang satu anggotanya.
Lama-kelamaan saya mengerti tentang sebuah pernikahan. Ya meskipun sedikit. Saya bisa menerima pernikahan kakak pertama saya dan akhirnya sering mengunjunginya jika sekolah sedang libur.
Sekarang giliran kakak kedua saya menikah. Saat itu saya duduk di bangku kelas 6 SD. Saya sudah mulai ikut berbaur dengan ramainya orang-orang yang merayakan pernikahannya. Tidak ada kesedihan akan perpisahan karena kakak saya masih akan tinggal di rumah sampai ia memiliki rumahnya sendiri.
Setelah melahirkan anak pertamanya, kakak kedua saya pindah ke rumah barunya. Betapa sepi rumah ini ditinggal kembali oleh salah satu anggotanya. Dan betapa sepinya juga hati saya.
Waktu terus berjalan, mereka berdua masih sering datang ke rumah ketika hari raya islam. Bahkan mereka menginap. Tapi semakin kesini, mereka sudah jarang menginap. Hanya mampir. Ketika saya ajak menginap, ada saja alasan mereka untuk menolak. Ya harus mengurus suami, ya harus mengerjakan pekerjaan rumah, ya ini ya itu. Seperti berat sekali untuk menginap meski hanya sehari.
Kaaaa aku ini adikmuuuuu.. Pernahkah kau berpikir? Betapa sepinya tiada diri mu disini? Kaaaa.. Aku masih adik mu kan?
Rasanya lucu masih merasakan hal ini di usia 21 tahun. Betapa egoisnya diri ini. Ka, aku hanya ingin kembali seperti dahulu... tapi dahulu itu tidak mungkin kembali.
Semoga kalian bahagia dengan pernikahan kalian, aku terus belajar untuk mengerti dan merelakan. Tulisan ini pun ku buat untuk membuat ku malu ka.
Kamis, 09 Oktober 2014
Minggu, 15 Juni 2014
Sekotak Pedih
Setelah ini, dia akan pergi ke
luar negeri untuk melanjutkan studi dan cita-cita terbesarnya. Dia
mengatakannya dengan bahagia. Terlihat jelas segaris senyum di wajahnya. Tapi
perkataan itu, membuat pudar senyum ku. Membuat turun bahu ku dan menyakitkan
hati ku. Ah! aku teramat mencintainya dan teramat tak rela melepasnya. Dia bahkan meminta doa ku. Jika aku mendoakannya,
apakah Tuhan mau menerima doa dengan penuh rasa tak rela?
Pagi ini aku terbangun pukul
05.10 pagi. Setelah sholat subuh, Ayah meminta ku untuk bergegas membantunya
membersihkan halaman. Rencananya hari ini Ayah akan membeli bibit pohon mangga
untuk ditanam di halaman rumah. Aku mencoba bersikap biasa, seolah tak terjadi
apa-apa. Padahal mata ku berbicara dengan lantang bahwa semalamam aku menangis.
Ya, mata ku bengkak dan terasa tebal ketika berkedip. Untung saja Ayah tak
terlalu memperhatikan, ia sedang tidak memakai kacamata kesayangannya. Mungkin
karena hari ini akan menanam bibit pohon mangga, akan sangat menyusahkan jika
kacamata itu menggantung di telinga dan hidungnya.
Ibu ku baru pulang dari pasar
setelah aku selesai membersihkan halaman. Ia melihat sisa bengkak di mata ku
dan segera menanyakan apa sebabnya. Langsung saja ku katakan bahwa semalam aku
menonton drama korea yang kisahnya sangat menyayat hati. Padahal, perkataan
Triya yang membuat ku menangis semalaman. Triya? Triya itu yang tadi aku
ceritakan di awal. Ibu ku tak kuat menahan tawanya, jelas saja tak kuat karena
setelah mendengar alasan ku, tanpa berkata sedikit pun gigi-giginya terlihat
dan matanya menyipit karena tertawa. “Ya Allah Fiiin, gak sekalian aja kamu jadi
pemain dramanya? kamu kan gampang nangis tuh, jadi pas akting nangis sutradaranya
hemat insto! hahaha”. Aku membalasnya dengan tatapan sinis dan langsung
menelusuri kantong-kantong plastik belanjaan ibu ku. “Kue pesenan ku mana Bu?
Aku laper banget nih abis keringetan bantuin Ayah”. “Sebentar, ada di kantong
ini nih” balas Ibu sambil meraih kantong berwarna putih bening.
Toet.. (dering pesan singkat HP
ku berbunyi). Aku yang baru saja selesai mandi hanya menatap HP ku di atas
kasur. Setelah tangan ku kering, langsung ku baca pesan itu sambil menggosok
rambut yang basah dengan handuk.
From: Triya
“Fiin, temenin gue
ke toko buku ya hari ini? mau beli bahan-bahan buat keperluan acara. Sebagai staff acara yang baik, lo gak boleh
nolak! :p. nanti jam 10 gue jemput ke rumah.”
To: Triya
“Yaelaaaah, biasanya
lu pergi sama Ain kenapa sekarang ngajak gua daaah. Mager ah! Minggu tuh
waktunya gue baca novel, makan bisckuit coklat sambil ngadem di halaman! Ganggu
lo!!!”
From: Triya
“Si Ain nemenin
adenya ke acara ulang tahuuun. Ayoolaaah Fiin, gue sekalian mau curhat sama lo
niih. Kan Cuma ke elo gue ceritanyaaa”
To: Triya
“Ah. gue selalu
kalah kalau ngadepin lo. Geura jemput gue.”
From:
Triya
"Hahahaha
makasih mba mro yang paliing baiik. Gue jamin hari ini lu gak nyesel pergi sama gue. Oke, tunggu gue ya Sob :p"
“Tuhaaaaaan,
kenapa mesti ketemu Triya lagi hari iniiii, gara-gara satu divisi kepanitiaan
hidup aku harus sepanjang hari bareng Triya?? Huwaaa. Tahan Fiin, sabar yaaa,
hari ini harus berjuang! berjuang tidak memperlihatkan rasa cinta dan rasa
sakitnya hati”.
Rabu, 12 Februari 2014
Untukmu Manusia
Mudah sekali menyakiti hati orang lain, bahkan sekalipun engkau termasuk dalam golongan baik.
Kau yakin bila selama ini perbuatan mu benar?
Yakinkah tidak ada yang terlewat?
Yakinkah perilaku mu sudah benar?
Sungguh ternyata sangat mudah menyakiti hati orang lain, bahkan ketika engkau menjaga perilaku dan lisan mu.
Karena kau manusia.
Salah satu dasar sifat dasar mu adalah lupa.
Banyaklah beristigfar.
Tidak semua orang sama seperti mu. Kamu yang mudah memaafkan atau kamu yang tak mudah tersakiti.
Kau yakin bila selama ini perbuatan mu benar?
Yakinkah tidak ada yang terlewat?
Yakinkah perilaku mu sudah benar?
Sungguh ternyata sangat mudah menyakiti hati orang lain, bahkan ketika engkau menjaga perilaku dan lisan mu.
Karena kau manusia.
Salah satu dasar sifat dasar mu adalah lupa.
Banyaklah beristigfar.
Tidak semua orang sama seperti mu. Kamu yang mudah memaafkan atau kamu yang tak mudah tersakiti.
Kamis, 23 Januari 2014
Sudahlah
Mengapa harus dibalas?
Dia berkata buruk pada diri.
Sakit hati,
lalu kau balas dengan keji.
Mengapa harus dibalas?
Dia tertawa dalam sedihmu.
Tidak peka situasi,
atau bahagia karena derita dirimu?
Mengapa harus dibalas?
Semua hal yang tak jelas.
Merasa diri terbawa paksa,
hati tak terima lantas saja membara.
Mengapa harus dibalas?
Tak sadarkah? Balasanmu membuat mu jadi kembar dengannya?
Sudahlah... Masih menumpuk tugas yang harus kau kerjakan.
Dia berkata buruk pada diri.
Sakit hati,
lalu kau balas dengan keji.
Mengapa harus dibalas?
Dia tertawa dalam sedihmu.
Tidak peka situasi,
atau bahagia karena derita dirimu?
Mengapa harus dibalas?
Semua hal yang tak jelas.
Merasa diri terbawa paksa,
hati tak terima lantas saja membara.
Mengapa harus dibalas?
Tak sadarkah? Balasanmu membuat mu jadi kembar dengannya?
Sudahlah... Masih menumpuk tugas yang harus kau kerjakan.
Langganan:
Postingan (Atom)