Kamis, 09 Oktober 2014

Direbut Pernikahan

Tulisan ini dibuat karena pernyataan seorang sahabat yang menyadarkan saya tentang luka akibat sebuah pernikahan.
Pernikahan saya? Bukan. Ini tentang pernikahan mereka. Tapi lukanya, ada pada diri saya.

Hari itu adalah hari pernikahannya. Pernikahan kakak pertama yang saya cintai. Akad dilakukan di kantor KUA dan resepsi di rumah mempelai pria. Saya seharian duduk di depan pelaminan mereka. Memandang setiap orang yang datang dan mengucapkan kata-kata bahagia. Saat itu saya masih duduk di kelas 1 SD. Yang saya tunggu-tunggu dalam duduk sehari ini adalah pulang kembali ke rumah bersama kakak saya dan keluarga. Saya sudah cukup bersabar membiarkan semua orang tertawa dan makan bersama. Tapi saat malamnya tiba, saya dan semua keluarga saya harus kembali ke rumah. Harga mati!

Malam tiba, orang yang datang semakin sedikit, dan saya mulai mengantuk tak tertahankan. Tapi saya masih memegang janji untuk memastikan semua keluarga pulang ke rumah. Ibu sudah mengajak saya pulang, disusul dengan anggota keluarga lain yang juga sudah siap pulang. Saya segera berkata "Kakak pulang juga kan, mana dia?".
"Kakak mah enggak pulang sayang, sekarang dia di sini sama suaminya."
"Apaansiiih!! Suruh dia ikut pulang buuu."
"Udah, udah, ayok pulang yuk.."
"Kakak pulang buuuu... ajakiiiin" dengan nada setengah menangis. Tapi tidak ada seorang pun yang mengajak kakak saya pulang ke rumah. Tangisan saya pun pecah dan rasa kesal di dalam hati memuncak.

Kenapa kakak saya lebih memilih bersama orang lain dibanding dengan keluarga terutama adiknya sendiri? Dan rumah ini pun berkurang satu anggotanya.

Lama-kelamaan saya mengerti tentang sebuah pernikahan. Ya meskipun sedikit. Saya bisa menerima pernikahan kakak pertama saya dan akhirnya sering mengunjunginya jika sekolah sedang libur.

Sekarang giliran kakak kedua saya menikah. Saat itu saya duduk di bangku kelas 6 SD. Saya sudah mulai ikut berbaur dengan ramainya orang-orang yang merayakan pernikahannya. Tidak ada kesedihan akan perpisahan karena kakak saya masih akan tinggal di rumah sampai ia memiliki rumahnya sendiri.

Setelah melahirkan anak pertamanya, kakak kedua saya pindah ke rumah barunya. Betapa sepi rumah ini ditinggal kembali oleh salah satu anggotanya. Dan betapa sepinya juga hati saya.

Waktu terus berjalan, mereka berdua masih sering datang ke rumah ketika hari raya islam. Bahkan mereka menginap. Tapi semakin kesini, mereka sudah jarang menginap. Hanya mampir. Ketika saya ajak menginap, ada saja alasan mereka untuk menolak. Ya harus mengurus suami, ya harus mengerjakan pekerjaan rumah, ya ini ya itu. Seperti berat sekali untuk menginap meski hanya sehari.

Kaaaa aku ini adikmuuuuu.. Pernahkah kau berpikir? Betapa sepinya tiada diri mu disini? Kaaaa.. Aku masih adik mu kan?

Rasanya lucu masih merasakan hal ini di usia 21 tahun. Betapa egoisnya diri ini. Ka, aku hanya ingin kembali seperti dahulu... tapi dahulu itu tidak mungkin kembali.

Semoga kalian bahagia dengan pernikahan kalian, aku terus belajar untuk mengerti dan merelakan. Tulisan ini pun ku buat untuk membuat ku malu ka.


Minggu, 15 Juni 2014

Sekotak Pedih


Setelah ini, dia akan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan studi dan cita-cita terbesarnya. Dia mengatakannya dengan bahagia. Terlihat jelas segaris senyum di wajahnya. Tapi perkataan itu, membuat pudar senyum ku. Membuat turun bahu ku dan menyakitkan hati ku. Ah! aku teramat mencintainya dan teramat tak rela melepasnya. Dia  bahkan meminta doa ku. Jika aku mendoakannya, apakah Tuhan mau menerima doa dengan penuh rasa tak rela?


Pagi ini aku terbangun pukul 05.10 pagi. Setelah sholat subuh, Ayah meminta ku untuk bergegas membantunya membersihkan halaman. Rencananya hari ini Ayah akan membeli bibit pohon mangga untuk ditanam di halaman rumah. Aku mencoba bersikap biasa, seolah tak terjadi apa-apa. Padahal mata ku berbicara dengan lantang bahwa semalamam aku menangis. Ya, mata ku bengkak dan terasa tebal ketika berkedip. Untung saja Ayah tak terlalu memperhatikan, ia sedang tidak memakai kacamata kesayangannya. Mungkin karena hari ini akan menanam bibit pohon mangga, akan sangat menyusahkan jika kacamata itu menggantung di telinga dan hidungnya.


Ibu ku baru pulang dari pasar setelah aku selesai membersihkan halaman. Ia melihat sisa bengkak di mata ku dan segera menanyakan apa sebabnya. Langsung saja ku katakan bahwa semalam aku menonton drama korea yang kisahnya sangat menyayat hati. Padahal, perkataan Triya yang membuat ku menangis semalaman. Triya? Triya itu yang tadi aku ceritakan di awal. Ibu ku tak kuat menahan tawanya, jelas saja tak kuat karena setelah mendengar alasan ku, tanpa berkata sedikit pun gigi-giginya terlihat dan matanya menyipit karena tertawa. “Ya Allah Fiiin, gak sekalian aja kamu jadi pemain dramanya? kamu kan gampang nangis tuh, jadi pas akting nangis sutradaranya hemat insto! hahaha”. Aku membalasnya dengan tatapan sinis dan langsung menelusuri kantong-kantong plastik belanjaan ibu ku. “Kue pesenan ku mana Bu? Aku laper banget nih abis keringetan bantuin Ayah”. “Sebentar, ada di kantong ini nih” balas Ibu sambil meraih kantong berwarna putih bening.


Toet.. (dering pesan singkat HP ku berbunyi). Aku yang baru saja selesai mandi hanya menatap HP ku di atas kasur. Setelah tangan ku kering, langsung ku baca pesan itu sambil menggosok rambut yang basah dengan handuk.

            From: Triya
“Fiin, temenin gue ke toko buku ya hari ini? mau beli bahan-bahan buat keperluan acara. Sebagai staff acara yang baik, lo gak boleh nolak! :p. nanti jam 10 gue jemput ke rumah.”
To: Triya
“Yaelaaaah, biasanya lu pergi sama Ain kenapa sekarang ngajak gua daaah. Mager ah! Minggu tuh waktunya gue baca novel, makan bisckuit coklat sambil ngadem di halaman! Ganggu lo!!!”
From: Triya
“Si Ain nemenin adenya ke acara ulang tahuuun. Ayoolaaah Fiin, gue sekalian mau curhat sama lo niih. Kan Cuma ke elo gue ceritanyaaa”
To: Triya
“Ah. gue selalu kalah kalau ngadepin lo. Geura jemput gue.”
From: Triya
"Hahahaha makasih mba mro yang paliing baiik. Gue jamin hari ini lu gak nyesel pergi sama gue. Oke, tunggu gue ya Sob :p"
 


“Tuhaaaaaan, kenapa mesti ketemu Triya lagi hari iniiii, gara-gara satu divisi kepanitiaan hidup aku harus sepanjang hari bareng Triya?? Huwaaa. Tahan Fiin, sabar yaaa, hari ini harus berjuang! berjuang tidak memperlihatkan rasa cinta dan rasa sakitnya hati”.


Rabu, 12 Februari 2014

Untukmu Manusia

Mudah sekali menyakiti hati orang lain, bahkan sekalipun engkau termasuk dalam golongan baik.
Kau yakin bila selama ini perbuatan mu benar?
Yakinkah tidak ada yang terlewat?
Yakinkah perilaku mu sudah benar?

Sungguh ternyata sangat mudah menyakiti hati orang lain, bahkan ketika engkau menjaga perilaku dan lisan mu.
Karena kau manusia.
Salah satu dasar sifat dasar mu adalah lupa.

Banyaklah beristigfar.
Tidak semua orang sama seperti mu. Kamu yang mudah memaafkan atau kamu yang tak mudah tersakiti.

Kamis, 23 Januari 2014

Sudahlah

Mengapa harus dibalas?
Dia berkata buruk pada diri.
Sakit hati,
lalu kau balas dengan keji.

Mengapa harus dibalas?
Dia tertawa dalam sedihmu.
Tidak peka situasi,
atau bahagia karena derita dirimu?

Mengapa harus dibalas?
Semua hal yang tak jelas.
Merasa diri terbawa paksa,
hati tak terima lantas saja membara.

Mengapa harus dibalas?
Tak sadarkah? Balasanmu membuat mu jadi kembar dengannya?

Sudahlah... Masih menumpuk tugas yang harus kau kerjakan.