Dia akan pergi ke Belanda untuk melanjutkan studi dan meraih
cita-cita terbesarnya. Terlihat jelas garis senyum di wajahnya saat dia
mengatakannya pada ku. Tapi perkataan itu, membuat dada ku terasa sesak dan
tubuh ku lemas seperti berpuasa tujuh hari tanpa berbuka! Ah! aku teramat
mencintainya dan teramat tak rela melepasnya. Dia bahkan meminta doa ku.
Jika aku mendoakannya, apakah Tuhan mau menerima doa dengan penuh rasa tak
rela?
Pagi ini aku terbangun pukul lima kurang sepuluh menit.
Setelah sholat subuh, Ayah memanggil ku untuk bergegas membantunya membersihkan
halaman. Halaman kami cukup luas dan sejuk, Ayah menghiasinya dengan berbagai
tanaman toga seperti daun sirih, jeruk nipis dan jahe. Ada juga pohon belimbing
yang sedang berbunga. Rontokan dari bunga belimbing tersebar kemana-mana. Kata
orang, Ayah memang mempunyai “tangan yang dingin”. Maksudnya ketika Ayah ku
menanam apa saja dengan tangannya sendiri, pasti tanaman itu akan tumbuh subur.
Rencananya hari ini Ayah akan membeli bibit pohon mangga untuk menambah koleksi
tanamannya. Namun rumput liar yang tumbuh berantakan menghalangi niat Ayah.
Saat aku mendatangi Ayah, aku mencoba bersikap biasa seolah tak terjadi
apa-apa. Padahal bisa dilihat dari mata ku bahwa semalamam aku menangis. Mata
ku bengkak dan terasa tebal ketika berkedip. Untung saja Ayah tak terlalu
memperhatikan. Kacamata kesayangannya rapi tergeletak di ruang tamu. Mungkin
karena hari ini akan berkebun, sangat menyusahkan jika kacamata itu menggantung
di telinga dan hidungnya.
Ibu ku baru pulang dari pasar setelah aku selesai membantu
Ayah. Ia melihat sisa bengkak di mata ku dan segera menanyakan apa sebabnya.
Langsung saja ku katakan bahwa semalaman aku menangis saat menonton drama korea
yang kisahnya sangat menyayat hati. Namun nyatanya, perkataan Triya yang
membuat ku menangis tak tertahankan. Triya? Triya itu yang tadi aku ceritakan
di awal. Dia adalah seorang sahabat yang diam-diam aku cintai, Triya Kusuma
Putra. Mendengar alasan ku Ibu langsung melepas tawanya. Gigi-giginya terlihat hingga
geraham dan matanya menyipit karena terbahak. “Ya Allah Fiiin, gak sekalian aja
kamu jadi pemain dramanya? kamu kan gampang nangis dan jago akting, jadi pas
akting nangis sutradaranya hemat insto! hahaha”. Aku hanya membalasnya dengan
tatapan sinis dan langsung menelusuri kantong-kantong plastik belanjanya. “Kue
pesenan ku mana Bu? Aku laper banget nih abis kerja rodi bantuin Ayah!”. “Lah,
kerja rodi apa kamu! kamu cuma bantu doa aja ngeluh, jangan kira Ibu gatau
ya!”. Aku hanya nyengir lebar. Hehehe, minggu pagi bersihin halaman? Mending baca
novel terus makan biskuit coklat sambil leha-leha hehehe. Kalian pasti sudah
mengira aku anak rajin yang suka membantu orang tua. Maaf! Perkiraan kalian
hampir saja benar! Hampir loh yaa hehe. “Sebentar, kuenya ada di kantong ini
nih” balasan Ibu atas cengiran ku sambil meraih kantong berwarna putih bening.
Toet. Dering pesan whatsapp
ku berbunyi. Aku yang baru saja selesai mandi hanya menatap handphone ku di atas kasur. Setelah
tangan ku kering, langsung ku baca pesan itu sambil menggosok rambut yang basah
dengan handuk.
Untuk sesaat tubuh ku terasa membeku. Pesan itu dari Triya.
Dia memintaku untuk menemaninya berbelanja persiapan studinya di Belanda. Sejak
dia mengatakan akan pergi, aku berjanji untuk tidak menemuinya lagi. Aku tidak
sanggup melepasnya, sungguh, maka ku putuskan untuk tidak menemuinya. Selama
ini, Triya adalah sahabat tempat ku bergantung. Dialah sahabat yang menghampiri
ketika dunia menjauhi ku. Dialah sahabat yang menguatkan ketika yang lain
melemahkan kekuatan ku. Dia yang mengingatkan ku ketika aku mulai menjauhi
Tuhan. Persahabatan kami memang tergolong aneh. Persahabatan kami bukan hanya tentang
kontak fisik, bukan tentang pergi selalu bersama, bukan tentang curhat
sepanjang hari, dan bukan tentang “selalu ada”. Tanpa kami harus selalu
bertanya kabar, kami akan tahu apa yang sedang dialami satu sama lain. Tuhanlah
yang mengatur “angin” untuk membawa berita ke telinga kami. Kalian bayangkan
sendiri seperti apa persahabatan kami.
Akhirnya aku menolak ajakan Triya dengan alasan Ayah ku. Ya,
alasan membersihkan halaman, mencabuti rumput liar. Namun Triya hanya tertawa,
ia berkata bahwa hal itu tidak akan aku lakukan. Triya sangat mengenalku. Triya
juga bilang bahwa ia akan sampai di rumah ku satu jam lagi bersama Aina. Ku
hempaskan tubuh di atas kasur, menarik nafas dalam dan mengambil bantal untuk menutupi
wajah. Apa yang harus aku lakukan?
Aku pergi menemani Triya bersama Aina. Kalian ingat
perkataan ibu ku kalau aku jago akting? Itu benar. Aku seharian tertawa,
bersenda gurau dan berceloteh layaknya perkumpulan para sahabat. Tapi hati ku?
Perih.
Hari itu, Jumat tanggal 27 Mei 2016 adalah tanggal dimana
Triya akan berangkat. Pergi ke Belanda meninggalkan kami, meninggalkan ku. Aku,
Aina dan keluarga Triya mengantar Triya ke Bandara. Sungguh, ini ku lakukan
karena terpaksa. Aina menjemputku ke rumah, menggotong ku dini hari ke mobilnya
dengan bantuan Ayah saat aku terlelap dalam mimpi. Aina mengetahui masalah hati
ku ini. Masalah yang memusingkan kepalanya karena menurut Aina aku sangat
berlebihan. “Dari dulu gua suruh lo ngaku ama Triya tapi lo bilang lo gamau
pacaran. Sekarang dia pergi lo uring-uringan. Lagian Fiiiin, dia bakal balik
kesini. Kita juga bisa chattingan, telponan, videoan. Lebay lo!!”. Mau
bagaimana, kepedihan hati ku karena akan berpisah dengan Triya tak bisa ku
kendalikan. Muncul begitu saja.
Kaki ku mulai lemas, melihat Triya tersenyum ke arah ku dan
melambaikan tangan. Ku balas lambaian tangannya dan tersenyum paksa. Triya kini
sudah benar-benar pergi. Aku terduduk ke lantai tanpa sadar. Tenggorokan ku
seperti tercekat, mata ku memanas. Air mata pun mengalir. Aina menenangkan dan
membawa ku ke mobil. Kejadian hari itu bagaikan sekotak kepedihan yang ku
terima.
Ku jalani hari-hari tanpa Triya. Tidak ada chattingan,
telponan atau videoan seperti yang dikatakan Aina. Triya benar-benar
menghilang. Bukannya aku tak pernah mencoba menghubunginya. Triya tak pernah
menjawab ku. Hidup ku terasa kosong, tidak tahu arah. Seperti ada yang hilang,
ya, kehilangan Triya.
Jam menunjukkan pukul 7 malam. Mobil ku terjebak macet di persimpangan
jalan. Hari ini aku menyetir sendiri. Supir ku cuti untuk menemani istrinya
yang baru saja melahirkan. Tak terasa hari ini juga tepat tiga tahun semenjak
kepergian Triya. Aku terhanyut dalam lamunan malam. Dering telpon ku tiba-tiba
berbunyi. Ayah yang menelpon.
“Assalamualaikum Fina, kamu udah dimana?”
“Waalaikumussalam, di Jalan Caringin Yah. Macet parah.
Kenapa?”
“Kamu suka pakai baju apa untuk hari lamaran besok?”
“Lamaran siapa yah? Teh Ani? Bukannya bulan depan Yah?”
“Bukaaan. Lamaran kamu.”
“HAH? AKU? YAH JANGAN BERCANDA. AYAH JODOHIN AKU?!”
“Lho, kata nak Triya kamu sudah tau dan mau. Ini dia di
rumah sekarang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar