Sabtu, 03 September 2016

Sekotak Pedih (1)



Dia akan pergi ke Belanda untuk melanjutkan studi dan meraih cita-cita terbesarnya. Terlihat jelas garis senyum di wajahnya saat dia mengatakannya pada ku. Tapi perkataan itu, membuat dada ku terasa sesak dan tubuh ku lemas seperti berpuasa tujuh hari tanpa berbuka! Ah! aku teramat mencintainya dan teramat tak rela melepasnya. Dia bahkan meminta doa ku. Jika aku mendoakannya, apakah Tuhan mau menerima doa dengan penuh rasa tak rela?
Pagi ini aku terbangun pukul lima kurang sepuluh menit. Setelah sholat subuh, Ayah memanggil ku untuk bergegas membantunya membersihkan halaman. Halaman kami cukup luas dan sejuk, Ayah menghiasinya dengan berbagai tanaman toga seperti daun sirih, jeruk nipis dan jahe. Ada juga pohon belimbing yang sedang berbunga. Rontokan dari bunga belimbing tersebar kemana-mana. Kata orang, Ayah memang mempunyai “tangan yang dingin”. Maksudnya ketika Ayah ku menanam apa saja dengan tangannya sendiri, pasti tanaman itu akan tumbuh subur. Rencananya hari ini Ayah akan membeli bibit pohon mangga untuk menambah koleksi tanamannya. Namun rumput liar yang tumbuh berantakan menghalangi niat Ayah. Saat aku mendatangi Ayah, aku mencoba bersikap biasa seolah tak terjadi apa-apa. Padahal bisa dilihat dari mata ku bahwa semalamam aku menangis. Mata ku bengkak dan terasa tebal ketika berkedip. Untung saja Ayah tak terlalu memperhatikan. Kacamata kesayangannya rapi tergeletak di ruang tamu. Mungkin karena hari ini akan berkebun, sangat menyusahkan jika kacamata itu menggantung di telinga dan hidungnya.
Ibu ku baru pulang dari pasar setelah aku selesai membantu Ayah. Ia melihat sisa bengkak di mata ku dan segera menanyakan apa sebabnya. Langsung saja ku katakan bahwa semalaman aku menangis saat menonton drama korea yang kisahnya sangat menyayat hati. Namun nyatanya, perkataan Triya yang membuat ku menangis tak tertahankan. Triya? Triya itu yang tadi aku ceritakan di awal. Dia adalah seorang sahabat yang diam-diam aku cintai, Triya Kusuma Putra. Mendengar alasan ku Ibu langsung melepas tawanya. Gigi-giginya terlihat hingga geraham dan matanya menyipit karena terbahak. “Ya Allah Fiiin, gak sekalian aja kamu jadi pemain dramanya? kamu kan gampang nangis dan jago akting, jadi pas akting nangis sutradaranya hemat insto! hahaha”. Aku hanya membalasnya dengan tatapan sinis dan langsung menelusuri kantong-kantong plastik belanjanya. “Kue pesenan ku mana Bu? Aku laper banget nih abis kerja rodi bantuin Ayah!”. “Lah, kerja rodi apa kamu! kamu cuma bantu doa aja ngeluh, jangan kira Ibu gatau ya!”. Aku hanya nyengir lebar. Hehehe, minggu pagi bersihin halaman? Mending baca novel terus makan biskuit coklat sambil leha-leha hehehe. Kalian pasti sudah mengira aku anak rajin yang suka membantu orang tua. Maaf! Perkiraan kalian hampir saja benar! Hampir loh yaa hehe. “Sebentar, kuenya ada di kantong ini nih” balasan Ibu atas cengiran ku sambil meraih kantong berwarna putih bening.
Toet. Dering pesan whatsapp ku berbunyi. Aku yang baru saja selesai mandi hanya menatap handphone ku di atas kasur. Setelah tangan ku kering, langsung ku baca pesan itu sambil menggosok rambut yang basah dengan handuk.
Untuk sesaat tubuh ku terasa membeku. Pesan itu dari Triya. Dia memintaku untuk menemaninya berbelanja persiapan studinya di Belanda. Sejak dia mengatakan akan pergi, aku berjanji untuk tidak menemuinya lagi. Aku tidak sanggup melepasnya, sungguh, maka ku putuskan untuk tidak menemuinya. Selama ini, Triya adalah sahabat tempat ku bergantung. Dialah sahabat yang menghampiri ketika dunia menjauhi ku. Dialah sahabat yang menguatkan ketika yang lain melemahkan kekuatan ku. Dia yang mengingatkan ku ketika aku mulai menjauhi Tuhan. Persahabatan kami memang tergolong aneh. Persahabatan kami bukan hanya tentang kontak fisik, bukan tentang pergi selalu bersama, bukan tentang curhat sepanjang hari, dan bukan tentang “selalu ada”. Tanpa kami harus selalu bertanya kabar, kami akan tahu apa yang sedang dialami satu sama lain. Tuhanlah yang mengatur “angin” untuk membawa berita ke telinga kami. Kalian bayangkan sendiri seperti apa persahabatan kami.
Akhirnya aku menolak ajakan Triya dengan alasan Ayah ku. Ya, alasan membersihkan halaman, mencabuti rumput liar. Namun Triya hanya tertawa, ia berkata bahwa hal itu tidak akan aku lakukan. Triya sangat mengenalku. Triya juga bilang bahwa ia akan sampai di rumah ku satu jam lagi bersama Aina. Ku hempaskan tubuh di atas kasur, menarik nafas dalam dan mengambil bantal untuk menutupi wajah. Apa yang harus aku lakukan?
Aku pergi menemani Triya bersama Aina. Kalian ingat perkataan ibu ku kalau aku jago akting? Itu benar. Aku seharian tertawa, bersenda gurau dan berceloteh layaknya perkumpulan para sahabat. Tapi hati ku? Perih.
Hari itu, Jumat tanggal 27 Mei 2016 adalah tanggal dimana Triya akan berangkat. Pergi ke Belanda meninggalkan kami, meninggalkan ku. Aku, Aina dan keluarga Triya mengantar Triya ke Bandara. Sungguh, ini ku lakukan karena terpaksa. Aina menjemputku ke rumah, menggotong ku dini hari ke mobilnya dengan bantuan Ayah saat aku terlelap dalam mimpi. Aina mengetahui masalah hati ku ini. Masalah yang memusingkan kepalanya karena menurut Aina aku sangat berlebihan. “Dari dulu gua suruh lo ngaku ama Triya tapi lo bilang lo gamau pacaran. Sekarang dia pergi lo uring-uringan. Lagian Fiiiin, dia bakal balik kesini. Kita juga bisa chattingan, telponan, videoan. Lebay lo!!”. Mau bagaimana, kepedihan hati ku karena akan berpisah dengan Triya tak bisa ku kendalikan. Muncul begitu saja.
Kaki ku mulai lemas, melihat Triya tersenyum ke arah ku dan melambaikan tangan. Ku balas lambaian tangannya dan tersenyum paksa. Triya kini sudah benar-benar pergi. Aku terduduk ke lantai tanpa sadar. Tenggorokan ku seperti tercekat, mata ku memanas. Air mata pun mengalir. Aina menenangkan dan membawa ku ke mobil. Kejadian hari itu bagaikan sekotak kepedihan yang ku terima.
Ku jalani hari-hari tanpa Triya. Tidak ada chattingan, telponan atau videoan seperti yang dikatakan Aina. Triya benar-benar menghilang. Bukannya aku tak pernah mencoba menghubunginya. Triya tak pernah menjawab ku. Hidup ku terasa kosong, tidak tahu arah. Seperti ada yang hilang, ya, kehilangan Triya.
Jam menunjukkan pukul 7 malam. Mobil ku terjebak macet di persimpangan jalan. Hari ini aku menyetir sendiri. Supir ku cuti untuk menemani istrinya yang baru saja melahirkan. Tak terasa hari ini juga tepat tiga tahun semenjak kepergian Triya. Aku terhanyut dalam lamunan malam. Dering telpon ku tiba-tiba berbunyi. Ayah yang menelpon.
“Assalamualaikum Fina, kamu udah dimana?”
“Waalaikumussalam, di Jalan Caringin Yah. Macet parah. Kenapa?”
“Kamu suka pakai baju apa untuk hari lamaran besok?”
“Lamaran siapa yah? Teh Ani? Bukannya bulan depan Yah?”
“Bukaaan. Lamaran kamu.”
“HAH? AKU? YAH JANGAN BERCANDA. AYAH JODOHIN AKU?!”
“Lho, kata nak Triya kamu sudah tau dan mau. Ini dia di rumah sekarang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar